Dalam sistem peradilan pidana, pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan memegang peranan yang penting karena merupakan bagian yang paling menentukan dalam penjatuhan sanksi pidana atas perbuatan bersalah atau tidak terhadap seorang terdakwa. Sistem pembuktian terbalik merupakan sistem yang meletakkan beban pembuktian pada terdakwa, dan proses pembuktian ini hanya berlaku saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan (khusus) jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memeroleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana atau ahli warisnya. Dalam sistem pembuktian terbalik tindak pidana korupsi ini, seorang terdakwa wajib membuktikan kekayaan yang dimilikinya adalah bukan dari hasil korupsi. Jika terdakwa dapat membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh bukan dari korupsi dan hakim berdasarkan bukti-bukti yang ada membenarkannya, maka terdakwa wajib dibebaskan dari segala dakwaan. Jika yang terjadi sebaliknya, maka terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi pidana.
Table of Contents
Articles
- Chodidjah
|
1-14
|
Ahmad Rohani HM
|
15-22
|
Moch. Agus Suprijono
|
23-38
|
Jawade Hafidz
|
39-64
|
Ratnawati Hendari
|
65-78
|
Dedi Rusdi, Angga Avianto
|
79-93
|
- Suparmi, Achmad Sahri
|
95-116
|
Ghofar Shidiq
|
117-130
|
Purwito Soegeng
|
131-160
|